Sebanyak
82 Negara baru saja mengikuti Bali Democracy Forum IV (BDF IV) yang
bertempat di Nusa Dua, Bali pada 8-9 Desember 2011. BDF merupakan forum
tahunan antar-Pemerintah di tingkat menteri yang diikuti negara-negara
demokrasi dan negara-negara yang beraspirasi menjadi lebih demokratis di
kawasan Asia dan sekitarnya. (detik.com 07/12)
“Demokrasi
adalah proses yang akan terus berlanjut. Tidak ada masa bahwa kita
dapat menyatakan proses demokrasi sudah selesai,” kata Menlu RI Marty
Natalegawa pada penutupan Bali Democracy Forum IV (BDF IV) yang
bertempat di Nusa Dua, Bali, Jumat (okezone.com 9/12/2011)
Dimata
sebagian khalayak, tampaknya demokrasi dipandang begitu sakral dan
dinilai merupakan satu-satunya sistem pemerintahan yang mampu
menyelamatkan dunia. Bahkan ketika sudah terbukti tidak dapat membawa
sebuah negara menjadi lebih baik karena sistem ini sudah cacat sejak
lahir pun tetap dibela dan “dimaafkan” bahwa ini katanya masih sebuah
proses.
Selama ini juga selalu diposisikan bahwasanya
seolah-olah sistem pemerintahan yang ada hanya dua model, jika demokrasi
diganti maka akan kembali ke sistem pemerintahan yang otoriter. Dalam
contoh kasus keindonesiaan misalnya, kalau saat ini demokrasi digugat,
maka akan kembali ke era seperti orde baru yang bercorak otoriter.
Anggapan ini sejatinya tidak benar, sebab masih ada sistem lain yang
mampu menyelamatkan negri ini.
Sebagai sebuah sistem
pemerintahan buah pikir manusia, demokrasi tentu merupakan sistem yang
sarat akan kelemahan. Baik itu Demokrasi liberal ala Jhon Locke
(1632-1704), demokrasi republikanisme Jean Jacques Rousseau (1712-1778),
begitu pula yang dinamai demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila, dst.
Konon
paradigma demokrasi ialah “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”.
Akan tetapi jauh-jauh hari sudah dibantah oleh orang-orang barat
sendiri. Semisal Presiden Abraham lincoln (19960-1865) mengatakan bahwa
demokrasi adalah “ from the people,by the people, and for the people”.
Beda lagi dengan presiden Rutherford B.Hayes, pada tahun 1876 yang
mengatakan bahwa kondisi di Amerika Serikat pada tahun itu adalah ‘from
the company, by company, and for the company.
Substansi
demokrasi secara teoritik adalah kedaulatan rakyat. Namun dalam tataran
praktik yang sering terjadi adalah hukum besi oligarki. Di sisi lain,
Demokrasi yang dekat dengan semboyan “kebebasan, persamaan,
persaudaraan” dalam praktiknya juga selalu menyisakan ironi. Kemerdekaan
(liberte) yang dimaksud ternyata hanya berlaku bagi kaum borjuis untuk
memonopoli pasar, begitu juga dengan persamaan (egalite) dan
persaudaraan (fraternite). Semua ini terjadi karena pada akhirnya
segelintir orang itulah yang berdaulat, bukan rakyat. (lihat: Ilusi Negara Demokrasi, Farid Wadjdi & Shidiq Al-Jawi et.al)
Sebagaimana
di Indonesia yang terjadi justru “dari elit oleh elit dan untuk elit”,
hal ini terjadi nyaris di semua sektor kehidupan. Sangat sedikit bahkan
nyaris nol, kebijakan-kebijakan dari pengampu kebijakan yang berpihak
kepada rakyat. Disebabkan karena yang berperan penting dalam
pengambilan kebijakan bukanlah rakyat melainkan pemilik modal, sedang
tugas rakyat hanyalah nyoblos atau nyontreng di hajatan pemilunya
demokrasi.
Kritik tajam juga sempat diutarakan Seniman Emha Ainun Nadjib (1997) dalam bukunya berjudul “Iblis Nusantara Dajjal Dunia".
Berikut petikannya: “Kalau Palestina banyak teroris, yang salah adalah
Islam. Kalau Saddam Hussein nranyak, yang salah adalah Islam. Tapi
kalau Belanda menjajah Indonesia 350 tahun, yang salah bukan Kristen.
Kalau amerika Serikat jumawa dan adigang adigung adiguna kepada rakyat
Irak, yang salah bukan Kristen. Bahkan sesudah ribuan bom dihujankan di
seantero Bagdad, Amerika Serikatlah pemegang sertifikat kebenaran,
sementara yang salah pasti adalah Islam.
Seniman yang
akrab di panggil Cak Nun ini menyambung lagi: "Agama" yang paling benar
adalah demokrasi. Anti demokrasi sama dengan setan dan iblis. Cara
mengukur siapa dan bagaiman yang pro dan yang kontra demokrasi,
ditentukan pasti bukan oleh orang Islam. Golongan Islam mendapat jatah
menjadi pihak yang diplonco dan dites terus menerus oleh subyektivisme
kaum non-Islam”.
Ada pula sebuah Labbeling Theory terbaru,
yakni pihak yang anti demokrasi diberi julukan sebagai radikal,
fundamentalis, dst. Sebuah upaya untuk memberikan image kurang baik bagi pihak anti demokrasi.
Mantan
Presiden G.W.Bush pernah berujar: “Jika kita mau menyelamatkan negara
kita dalam jangka panjang, hal terbaik yang dilakukan adalah menyebarkan
kebebasan dan demokrasi”. Bush tampaknya sadar betul bahwa demokrasi
akan tetap mampu menjamin keberlangsungan penjajahan AS dibelahan dunia,
karena keberlangsungan kehidupan negara pemimpin Ideologi kapitalisme
ini adalah dengan penjajahan.
Demokrasi mengajarkan adanya
kebebasan kepemilikan, alhasil penjajahan atas kekayaan alam di
Indonesia juga tak terelakan. Semisal saja Freeport di Papua, dalam
jangka 15 tahun telah mengambil keuntungan 400 trilyun (Amien Rais,
Republika).
Melalui celah demokrasi, liberalisasi
merengsek masuk ke semua bidang kehidupan. Demokrasi mengagungkan
kebebasan beragama sehingga berkeliaran aliran-aliran sesat seperti
Ahmadiyah. Mengedepankan kebebasan berpendapat akan tetapi yang terjadi
pelecehan terhadap Al-Qur’an, penghinaan Rasul, dsb. Begitu pula dengan
kebebasan berperilaku yang memberi output bermaraknya seks bebas,
aborsi, dll.
Demikian halnya terkait suara terbanyak,
namun sebagai contoh ketika sebagian besar masyarakat Indonesia menolak
kenaikan BBM, namun BBM tetap naik. Itulah demokrasi yang menimbulkan
berbagai penyakit kronis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Karena
itu, sudah sepantasnya negri yang mayoritas muslim ini beralih ke
sistem Islam, rahmat untuk seluruh alam. Syariah Islam dalam bingkai
Khilafah terbukti mampu menerangi dunia selama berabad-abad lamanya.
Memberikan pengaturan terbaik, bukan hanya untuk umat Islam, namun juga
non Muslim.
Islam dan demokrasi jelas berbeda jauh seperti
kutub utara dengan kutub selatan. Di dalam demokrasi kedaulatan berada
ditangan rakyat meski sejatinya ditangan para kapitalis, sedangkan dalam
sistem Islam kedaulatan adalah ditangan Allah (hukum syara) yang
terbebas dari berbagai tendensi apapun, kecuali untuk kemaslahatan umat.
Islam
mengatur bahwasanya keputusan yang menyangkut hukum diambil berdasarkan
kekuatan dalil syara’,yang menyangkut keahlian berdasarkan ketepatan,
untuk suara terbanyak dapat diterapkan dalam hal tehnis.
Ketika
sistem Islam diterapkan, maka adanya perampokan kekayaan alam,
dekadensi moral, korupsi, krisis penegakkan hukum, dsb, niscaya dapat
diatasi dengan baik. Yakinlah bahwa demokrasi bukanlah jalan yang baik
bagi negara berkembang seperti Indonesia, jika pun ada kemakmuran di
negara demokrasi, maka itu adalah hasil eksploitasi dan imperelialisme
di negara lain.
Apalagi lebih-lebih kita sebagai muslim
tentu mengharap kesejahteraan dalam bantuk lahir maupun batin, bukan
hanya secara lahir saja. Maka hanya penerapan syariah Islam secara
kaffah dalam bingkai khilafah satu-satunya solusi. Maaf, tidak ada
harapan dalam demokrasi. Wallahu a’lam.
Ali Mustofa
Analis CIIA (The Community Of Ideological Islamic Analyst) Desk Sosial-Politik
Note laman Komunitas Rindu Syariah & Khilafah on Saturday, December 10, 2011 at 6:08am

Comments
Post a Comment